PALAS (STARMEDIA.id) – Kementerian Agama (Kemenag) memiliki kewajiban dalam penerapan nilai inklusif di lingkungan pesantren. Ini upaya menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas dan Berkebutuhan khusus.
Pada dasarnya, agama Islam sudah mengajarkan untuk menghormati dan memuliakan penyandang disabilitas. Islam juga selalu menempatkan posisi tertinggi tentang konsep kesetaraan.
Dengan merespons UU dan PP tentang penyandang disabilitas, dan berkebutuhan khusus dari Kementerian Agama bagaimana mendampingi santri berkebutuhan khusus Seperti tersebut diatas, terkait hal itu telah dilaksanakan oleh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Maqbul Sibuhuan, yang terletak di Jalan Sepeker, Lingkungan III, Kelurahan Pasar Sibuhuan, Kecamatan Barumun, Kabupaten Padang Lawas (Palas) yang sudah berdiri sejak empat tahun, tepatnya pada tahun 2020 yang lalu.
Dikatakan Pimpinan Yayasan Haji Maqbul Hasibuan, M. Ali Sakti M Hasibuan bersamaKetua Yayasan Haji Maqbul Hasibuan, yang juga sebagai Ustazah di Pondok pesantren Al-Maqbul Ustazah Suarnida Hasibuan, S.Ag, dan didampingi Kepala Sekolah MTs Swasta Ustazah Drs. Siti Rawiyah Hasibuan serta para Ustadz dan Ustazah, sejak berdirinya ponpes kita ini tidak pernah menolak santri santriwati yang berkebutuhan khusus.
“Dimana Pesantren juga sebagai lembaga yang lebih dahulu menerima penyandang disabilitas daripada pendidikan yang lain. Meskipun tidak pernah menyatakan sebagai pesantren yang inklusi, namun pada praktiknya pesantren tidak pernah menolak siapapun yang mau masuk ke pesantren,” kata Ustazah Suarnida Hasibuan saat dijumpai awak media ini sesuai berikan pendidikan kepada santri yang berkebutuhan khusus, Kamis sore (31/10/2024).
Ketua Yayasan itu juga menyampaikan, pesantren bukanlah ‘tempat buangan’ dan bukan pula sebagai ‘bengkel orang’ karena anak disabilitas bukan ‘produk’ Tuhan yang gagal.
“Kementerian Agama mungkin belum mendata secara penuh jumlah pesantren inklusif atau memiliki santri penyandang disabilitas. Namun, ternyata sudah banyak pesantren yang memang sudah menerima anak berkebutuhan khusus,” ucapnya.
Selain itu Ustazah Suarnida, mengatakan Sebagian orangtua yang mempunyai status ekonomi tinggi biasanya mengundang psikolog untuk menangani secara khusus agar dapat mengetahui kecenderungan anak.
Akan tetapi, bagi kalangan orangtua yang memiliki keterbatasan ekonomi tentu tidak mempunyai kemampuan untuk mendatangkan psikolog. Sehingga, ada yang dititipkan kepada pengasuh pesantren supaya didoakan untuk kelancaran dalam menuntut ilmu agama.
Adapun Kendala yang sering ditemui di pesantren adalah belum adanya guru atau ustaz yang memiliki kompetensi sesuai bidang seperti di sekolah luar biasa (SLB). Namun, hal ini tak menghalangi para ustaz untuk membimbing santri disabilitas dalam mengenal ibadah, pendidikan, maupun kegiatan lainnya.
“Para santri yang berkebutuhan khusus dididik dengan ilmu agamanya, sehingga mereka minimal bisa mandiri dalam ibadah shalat dan mengaji. Pencapaian demikian adalah sesuatu yang sudah luar biasa,” kata Suarnida.
Sehingga, dalam hal ini negara hadir untuk mendampingi yang sesuai dengan kebutuhan, misalnya membangun ekosistem, fasilitas kursi roda, akses lingkungan, dan lain-lain.tuturnya.
Disamping itu, untuk membangun ekosistem termasuk hal yang sangat penting, karena banyak anak berkebutuhan khusus yang ditolak, dirundung (bullying), disingkirkan, dan dianggap lain. Maka pengasuh pesantren, yakni Pimpinan yayasan membuat ekosistem yang baru soal bagaimana santri non disabilitas bisa menghargai yang disabilitas. Serta, bisa mendampingi ke kamar mandi, masjid, tempat belajar, dan seterusnya.
Lebih lanjut, ditambahkan Ustazah Suarnida, sudah 0ada beberapa pesantren di NKRI kita ini yang sudah mendeklarasikan lembaganya sebagai pesantren inklusif, seperti yang pernah saya baca di media sudah ada di Kudus, Semarang, Lampung, Tangerang Selatan, dan lain-lain.
Dan yang sudah saya baca di Pesantren Raudhatul Makfufin Tangerang Selatan yang sudah menyusun Al-Quran Braille, Hadits Braille. Bahkan memberikan pendidikan dengan keterampilan agar santri disabilitas netra bisa bergandengan tangan dengan teman-temannya.
“Dalam konteks pembinaan santri disabilitas, yang tidak kalah penting adalah pendampingan keterampilan-keterampilan yang bermanfaat ketika mereka sudah keluar pesantren. Aspek inilah yang kini juga menjadi bahasan penting bagi Kementerian Agama” Pungkasnya. (AHAR)